Saya menakar-nakar, ketika ada anak SMU di tahun 2000 an lebih asyik membaca majalah Horison, boleh dikata hal ini diluar kelaziman. Masa itu, aksi Lulu Tobing, Ari Wibowo, dan Jihan Fahira sedang berada di puncak kejayaan dalam lakon di sinetron Tersanjung. Sinetron ‘tiada ujung’ itu seperti demam kepanjangan yang dibuat berseri-seri. Multivision, rumah produksinya menangguk untung besar atas larisnya sinetron ini.
Saking larisnya itu sinetron, segala lapisan masyarakat membicarakan. Bintangnya jadi idola dan mendadak kaya. Orang tua dan remaja menanti jam tayangnya. Makanya, mendapati Fadjriah Nurdiarsih dalam pengantarnya di buku “Rumah ini Punya Siapa? Kumpulan Cerita Pendek” terasa menakjubkan. “Saya tenggelam di perpustakaan sekolah dan membaca (majalah) Horison sejak SMU.” (Hal VIII).
Ya, kelahiran 1985 ini, di tahun-tahun 2000an masih berseragan putih abu-abu. Tak banyak anak SMU yang tenggelam membaca majalah Horison. Ini adalah majalah sastra ‘kelas atas’ yang bahasan dan penulisnya bukan sastrawan sembarangan. Majalah ini lahir dari tangan para maestro media dan sastra Indonesia di tahun 1966, sebagai jawaban atas terbelenggunya karya sastra non manipol-usdek. Ada Mochtar Lubis, Taufiq Ismail, hingga PK.Ojong yang kemudian menjadikan majalah sastra ini semacam barometer untuk mengukur kualitas sastra seseorang.
Kalau bacaannya sejak SMU saja sudah ‘kelas berat’ tentu bisa ditakar kadar kesastraan Fadjriah. Muhammad Sulhi Rawi alias Bang Icooel, dedengkot Gerbang Betawi -salah satu organisasi literasi kebetawian- yang juga Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia, sampai menyebut, “Dia (Fadjriah) memang bukan Firman Muntaco dan tidak akan pernah menjadi Firman Muntaco. Namun ketajaman imajinasinya terhadap persoalan di tanah Betawi berada pada titik yang nyaris sejajar.”
Firman Muntaco, yang disebut terakhir ini adalah sastrawan penulis cerita-cerita Betawi yang tak diragukan kemampuannya memunculkan cerita kehidupan sosial Betawi.
Memang, Mpok Iyah -begitu Fadjriah disapa- dalam 20 cerita pendek dibukukan menjadi 175 halaman ini, juga mengangkat persoalan sosial masyarakat Betawi. Ia menyajikan dengan ringan dan alur ‘drama’ keseharian yang terjadi. Mpok Iyah, seperti memunculkan cuplikan-cuplikan kehidupan masyarakat Betawi.
Dalam kisah Ustazah Rahma misalnya yang menjadi cerpen pembuka. Dikisahkan bagaimana seorang yang begitu diagungkan jemaah pengajiannya, tetapi punya persoalan yang membelit hidup. Peliknya bagi persoalan itu biasanya yang selalu menjadi tema kebanyakan para pemuka agama: bagaimana menggunakan hak orang lain tanpa persetujuan pemilik haknya. Sesuatu yang kerap kali diangkat dalam ceramah agama yang justru dilakukan oleh si penceramah itu sendiri karena himpitan ekonomi.
Dalam kumpulan cerpennya, Mpok Iyah juga mencoba untuk membawa Betawi kembali bergema di jagad sastra. Secara apik ia berhasil menyelipkan kata-kata khas yang umum digunakan dalam pergaulan masyarakat Betawi. Di cerita “ Batu Merah Delima” misalnya. Babe-nya Rijal dikisahkan hidup awet recet, dengan Nyai (ibunya Rijal). Awet recet, idiom Betawi yang berarti hubungan suami istri yang awet meski sering bertengkar, sudah jarang terdengar, kini dimunculkan.
Sebagai kelahiran Kebagusan, Jakarta Selatan, ibu dua anak ini memang berhasrat ingin kembali membangun sastra Betawi. Bekalnya bersekolah di Sastra Universitas Indonesia dan lama bergaul dengan sejarahwan Betawi JJ. Rizal, sedikitnya memberi bekal kebetawian dalam jalur yang ilmiah. Setidaknya, Mpok Iyah bisa dengan mudah mendapat akses informasi yang lebih kaya.
Namun demikian, buku ini tampaknya memang lebih cocok bagi sesiapa yang gemar berpetualang di alam pikiran. Pasalnya, saban cerpen-cerpennya tak pernah diakhiri dengan kesimpulan penulis. Sampai di cerita ke-19, “Rumah ini Punya Siapa,” paragraf terakhir ditutup dengan pernyataan menggantung: Soleha merasa pilu.
Inilah asyiknya. Pembaca dibiarkan berimajinasi, bagaimana akhir dari cerita-cerita itu. Ia seperti menyerahkan akhir apa yang diinginkan oleh pembacanya. Gaya tulisan yang menggantung, membuat kita bisa menjelajah akhir cerita dengan harapan sendiri.
Boleh jadi Mpok iyah menyadari, selepas ia meluncurkan karya-karyanya, soal penafsiran teks dan makna sudah tak berada dalam jangkauannya. Seperti apa yang disuarakan Roland Barthes, filsuf Perancis dalam essainya: “ The Death of Author”
“We know that a text does not consist of a line of words, releasing a single “theological” meaning (the “message” of the Author-God), but is a space of many dimensions, in which are wedded and contested various kinds of writing, no one of which is original: the text is a tissue of citations, resulting from the thousand sources of culture.”
Maka, bagi sesiapa yang ingin membaca bersiaplah memanjakan imajinasi akhir cerita versi sendiri. Ibarat menyantap tape uli, ada gurih adapula manis. Kita dibebaskan untuk mengunyahnya seberapapun kita suka. Jika dirasa cukup, silakan menelan dan menyantap kembali racikan tape uli yang disodorkan di depan mata.
Selamat membaca!
(Ciganjur, 20 Rabiul Akhir 1422H/5 Desember 2020)