Adanya perubahan pola belajar, dari tatap muka menjadi pembelajaran jarak jauh menggunakan media online alias daring selama masa pandemic covid-19, dapat berdampak pada gangguan mental masyarakat, termasuk di juga pelajar di Indonesia.

Secara umum hasil penelitian yang dilakukan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) pada bulan Mei lalu,menemukan 69% peserta survey mengalami masalah psikologi terkait covid-19,” sebut Dr. dr. Nova Riyanti Yusuf SpKJ (Noriyu) Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa DKI Jakarta, dalam seminar  daring  bertema “Isu Kesehatan Mental dan Penerapannya dalam Sistem Pendidikan”, yang digelar Madrasah Aliyah Citra Cendekia, di Jakarta, Sabtu (12/12).

Menurut Noriyu, kondisi ini perlu diwaspadai mengingat dampaknya juga akan dirasakan pada para pelajar yang merupakan generasi penerus bangsa. Ia menambahkan, situasi ini dapat diantisipasi bila para guru maupun orang tua mengenali gejala awal gangguan mental yang dialami oleh pelajar.

“Untuk mencegah hal ini, diperlukan kerjasama oleh seluruh stakeholder pendidikan. Mulai dari pemangku kebijakan, penyelenggara hingga ke orang tua siswa,” tambah Noriyu lagi.

depresi, mental, kesehatan

Senada Noriyu, Asterika Dwiana, SPd, Kepala Sekolah Madrasah Citra Cendekia Jakarta mengatakan, kesehatan mental siswa menjadi syarat utama dalam menjalankan sistem pendidikan.

“Apalagi dalam kondisi saat ini, di mana pembelajaran dilakukan secara daring. Hal baru baik bagi siswa, orang tua maupun tenaga pendidik. Seperti di Macicen, untuk tenaga pendidik kami terus melakukan penguatan agar proses belajar mengajar berjalan dengan baik,” sebutnya.

Dalam sistem pembelajaran jarak jauh, adaptasi bukan cuma bagi siswa, tetapi juga tenaga pengajar itu sendiri. Selama ini, Asterika menambahkan,dalam proses belajar mengajar,  MACICEN menerapkan sistem moving class. Dimana setiap siswa kelas 10 hingga kelas 12, melakukan perpindahan sesuai dengan mata pelajaran yang diambil. Pola pembelajaran seperti ini selain membuat siswa lebih fokus dalam belajar, tetapi sekaligus juga memberikan refreshing bagi siswa karena mendapatkan kelas yang berbeda.

Sebaliknya, dalam sistem pembelajaran daring, siswa dihadapi dengan situasi yang sama, dan harus berlama-lama di depan layar computer. Kondisi ini, menyebabkan siswa maupun guru mengalami kejenuhan.

Noriyu menambahkan, adanya pembatasan sosial semacam ini memang membuat pola berubah. Manusia sebagai makhluk sosial yang seharusnya bisa beraktivitas di luar ruang, kini dipaksa menjadi makhluk individual.

“Jadi wajar kalau saat ini banyak yang mengalami pergeseran di kesehatan jiwanya. Artinya mulai mengarah ke distress, kemudian mengarah ke kondisi-kondisi seperti gangguan panik, cemas, ataupun trauma psikologis,” tuturnya.

Penerapan 5 T

Oleh karena itu, untuk pencegahan sejak dini, peran sekolah menjadi hal utama. Ia menyebutkan sekolah dapat menerapkan pola 5T: Talking, Training, Teaching, Tools dan Taking Care’s. Secara perinci ia menjelaskan, Talking adalah membuka pembicaraan mengenai persoalan atau masalah kejiwaan kepada para siswa.  “Ini entry point agar siswa juga terbuka mengenai apa yang dirasakannya,” sebut peraih gelar Doktor dari Universitas Indonesia Fakultas Kesehatan Masyarakat ini.

Kedua, adalah Training, yaitu memberikan pelatihan-pelatatihan kepada tenaga pengajar maupun tenaga pendidik di sekolah. Hal ini dibutuhkan agar tenaga pengajar dan tenaga pendidik bisa memberikan informasi yang benar kepada para siswa.

Ketiga, Teaching, yaitu mengintegrasikan sistem pembelajaran dalam kurikulum sekolah ataupun dalam pembelajaran mengenai kesehatan mental. Keempat adalah Tools, yaitu tersedianya infrastuktur untuk menyalurkan beban mental yang dialami siswa. Misalnya dengan menyediakan saluran curhat, ruang rekreatif di sekolah atau sejenisnya. Terakhir, adalah Taking care yang ditujukan kepada para tenaga pendidik dan tenaga pengajar untuk peduli dengan kesehatan mental dirinya dan siswa.

“Point terakhir itu, juga sangat menentukan. Karena tenaga pengajar maupun tenaga pendidik adalah agen utama. Jadi pihak sekolah juga perlu untuk meningkatkan kesehatan jiwa dari tenaga pengajar,” sebut Noriyu lagi.

Ia menjelaskan, untuk menjaga agar kesehatan mental siswa dapat terjaga, diperlukan kerjasama antara pihak sekolah, orang tua dan juga keterbukaan dari siswa itu sendiri. “Jadi tidak dapat berdiri sendiri,” ujar Sekretaris Jenderal Asian Federation of Psychiatric Associations ini.

Sebelumnya, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama DKI Jakarta, Drs. H. Moh. Komarudin MPd.I. menyatakan, pembentukan karakter pada tingkat siswa Madrasah Aliyah (setara SMU), saat ini menjadi hal utama. Mengingat, situasi saat ini setidaknya ada tiga hal besar yang dihadapi bangsa.

“Merosotnya wibawa, lemahnya intoleransi dan adanya krisis kepribadian. Saat ini persoalan penguatan kepribadian hampir tidak tersentuh. Oleh karena itu, saya sangat mengapresiasi diadakannya webinar ini oleh Madrasah Aliyah Citra Cendekia,” ujarnya dalam pembukaan webinar.

Ia menambahkan, penguatan kepribadian juga merupakan persoalan kesehatan mental yang perlu diperhatikan. Dengan hadirnya narasaumber yang kompeten, bisa memberikan pengetahuan kepada tenaga pengajar. “Saya harap apa yang akan disampikan Dr. dr. Nova Riyanti Yusuf, Sp.KJ dapat memberikan manfaat bagi pembangunan karakater generasi mendatang,” tuturnya.

By BangBul

betawipedia.com adalah situs informasi mengenai segala hal tentang Betawi. Mencakup aktivtas warga betawi, seni, budaya dan sejarah Betawi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *