Perempuan kelahiran Kebagusan, Jakarta, tahun 1985 ini, resah, literasi di kalangan masyarakat Betawi belum berkembang pesat. Meskipun, banyak pula sastrawan Betawi yang malang melintang di jagad nasional. Sebutlah Firman Muntaco, SM. Ardan, hingga Mahbub Djunadi yang juga menjadi politisi.
Keresahannya itu ‘dilawan’ dengan menelurkan sejumlah cerita pendek yang terangkum dalam buku kumpulan Cerpen “Rumah ini Punya Siapa” . Inilah sebagian cerpen yang dihasilkan sejak 6 tahun belakangan. Walau cerpennya kerap menghiasi media nasional, toh ia enggan disebut sebagai sastrawan. Mengapa demikian?
Berikut, cuplikan obrolan Betawipedia.com , Rabu (21/2) di Jakarta, dengan Perempuan yang sejak SMU sudah berkutat dengan majalah sastra ‘kelas berat’ Horison.
Apa yang mendasari Anda membuat buku kumpulan cerpen ini?
Saya suka membaca sejak sekolah dasar dan saya mencoba-coba menulis cerpen sejak SMA. Sejak 2015, setelah saya melahirkan anak kedua, saya mengikuti pelatihan menulis cerpen di (Majalah) Tempo. Waktu itu pengajarnya adalah Leila S. Chudori dan saya masih bekerja di Tempo sebagai editor bahasa.
Tempo memberi kesempatan kepada kami, para pekerjanya untuk mengikuti kelas-kelas yang tersedia di sana. Baik kelas untuk redaksi atau kelas yang diadakan oleh Tempo Institut. Saya ingat saya mengikuti kelas itu secara gratis. Saya mengagumi Mbak Leila dan di kelas itu saya mendapat ilmu luar biasa mengenai teknik menyusun cerita. Sebelumnya, saya tidak tahu bahwa ada cara mudah dan kiat-kiat yang bisa dipakai untuk menulis cerpen. Kelas itu menyadarkan saya dan saya mulai menulis untuk membunuh kebosanan atau mengalihkan perasaan saat sedang terlalu sedih. Semua saya tuangkan dalam tulisan. Pada 2019, saya sadar tulisan saya sudah banyak dan saya pun mulai mencari cara untuk menerbitkannya.
Sejak kapan sebenarnya Anda tertarik membuat cerpen?
Sebenarnya sejak SMA karena saya mengikuti festival literasi dan berhasil meraih juara 2 se-SMA. Saya baru kelas 1 waktu itu dan penghargaan itu membuat saya senang. Kemudian di bangku kuliah, saya mengikuti kelas Penulisan Populer yang diasuh Pak Ismail Marahimin. Dia juga seorang novelis, menulis karya “Dan Perang Pun Usai”. Pak Ismail biasa memberi titik 3 kalau karya kami dianggap bagus. Saya ingat melonjak kegirangan saat mendapatkannya. Ia juga meminta karya kami untuk dibukukan. Sayang, hal itu tidak jadi terlaksana.
Apa tulisan/cerpen pertama yang Anda bikin, tahun berapa dan darimana inspirasinya?
Saya sudah lupa bagaimana cerpen pertama saya. Tapi yang jelas, itu adalah kisah persahabatan ala anak muda. Cerita profesional pertama yang saya buat berjudul “Sebuah Perjalanan Panjang”. Saya malu karena itu mengambil judul salah satu cerpen Eka Kurniawan (novelis). Itu adalah cerpen yang saya buat ketika baru belajar. Kisahnya mengenai hubungan suami-istri dan konflik-konfliknya. Inspirasi lain datang dari salah satu cerpen Yusi Avianto Pareanom yang endingnya tidak selesai. Suami-istri tidak bertemu. Saya kemudian meniru plot-nya. Itu cara mudah menulis, meniru plot dan mengganti tokoh-tokohnya. Saya tidak memasukkan cerpen ini ke dalam kumcer (kumpulan cerpen) saya.
Belum lama ini, Anda meluncurkan buku kumpulan cerpen yang sebagian Anda tulis, bisa diceritakan, apa yang mendasari menerbitkan buku fisik di era digital semacam ini?
Buku fisik selalu punya tempat. Saya selalu suka membaca buku dengan kertas dibandingkan gawai. Mungkin saya dianggap egois, tapi perasaan nikmat membalik kertas dan menyentuhnya itu tak bisa digantikan. Memang ada kritik agar saya membuat buku digital, dan saya kira saya menuju ke arah sana. Ada teman yang bersedia membantu. Kami hanya perlu merumuskan kerja samanya. Semoga ini bisa terlaksana dalam waktu dekat.
Dalam cerpen-cerpen yang Anda tuliskan itu, kebanyakan memotret kegetiran hidup masyarakat Betawi, mengapa?
Cerita pendek (cerpen) selalu memuat permasalahan-permasalahan hidup manusia. Cerpen memuat konflik dan problem. Bahkan, seorang pengarang pernah mengatakan: prosa adalah kehidupan yang sudah dibuat bagian buruknya. Saya tidak tahu kenapa pembaca menganggapnya getir. Kalau membaca cerita Ben Sohib (novelis), Anda juga akan menemukan kisah-kisah sejenis. Maka ini menarik untuk dianalisis lebih jauh.
Sepertinya, pengalaman menulis skripsi tentang Firman Muntaco dan karyanya, Gambang Jakarta, kemudian membaca karya SM Ardan ‘Terang Bulan Terang di Kali’ dan karya Mahbub Djunaedi “Dari Hari ke Hari”, turut mempengaruhi cara saya menulis dan bagaimana saya menampilkan tokoh-tokoh saya yang berlatar Betawi.

Di kancah nasional para sastrawan Betawi, boleh dibilang bisa dihitung dengan jari, menurut Anda, apa penyebabnya sastrawan Betawi tak berkembang pesat seperti halnya sastrawan lain?
Banyak hal. Pertama, bisa dibilang orang Betawi tak terlalu suka membaca. Kita punya PR besar meningkatkan atau menumbuhkan minat literasi di kalangan orang Betawi. Kedua, orang Betawi lebih suka mengaji–padahal membaca buku sama seperti membaca Al-Qur’an: Iqro. Ketiga, kita tak punya komunitas bagus untuk orang bergairah menulis dan membaca. Misalnya semacam klub buku. Penulis yang bagus akan lahir dari komunitas bagus yang terbiasa membaca bacaan bagus. Sebagian besar komunitas yang ada sekarang pun masih berkutat pada seni dan budaya, serta belum melirik literasi. Keempat, perlu dukungan dana yang besar alias funding. Penulis akan bersemangat kalau tahu ke mana dia bisa menjual karyanya. Kelima, kadang-kadang penulis juga kesulitan mencari penerbit. Namun, ini faktor lain, misal kalau karyanya dianggap jelek. Untuk itu perlu ada pelatihan menulis agar karya-karya penulis ini bisa dilirik oleh penerbit.
Sebenarnya kita punya lumayan stok penulis yang membanggakan. Kita ada Mahbub Djunaidi, Firman Muntaco, SM Ardan, Zen Hae, Chairil Gibran Ramadan dan lain-lain, tetapi kita tak serius membangun upaya penerus-penerus mereka. Calon-calon penulis bagus tak bisa hanya ditunggu muncul. Sebab, saya percaya, menulis hanya perlu 10 persen bakat, sisanya adalah latihan dan kerja keras.
Sebenarnya saya gemas, kok orang Betawi enggak mau menulis? Padahal Kita sudah punya Muhamad Bakir sejak masa kesusasteraan klasik berbahasa Melayu dan menggunakan aksara Arab gundul. Tapi tradisi menulis kita tidak tumbuh sepesat tradisi lisan. Padahal, jika tidak dituliskan, banyak hal yang akan hilang dari peradaban. Itulah akhirnya yang membuat saya mulai membuat blog www.mpokiyah.com sejak 4 tahun lalu. Kemudian setelah saya mulai menulis cerpen, saya sadar tidak ada lagi penulis Betawi yang aktif berkarya sekarang ini. Jejak kepengarangan orang Betawi seolah tak berlangsung menggembirakan. Akhirnya saya memutuskan untuk menulis kisah-kisah tentang orang Betawi dan segala problematikanya.
Para penulis biasanya didominasi lelaki, Jarang sekali dijumpai penulis cerpen dari kalangan perempuan, termasuk juga cerpenis Betawi, menurut Anda, mengapa hal ini bisa terjadi?
Jujur, saya tidak tahu persis kenapa ini bisa terjadi. Saya menduga-duga anak perempuan tidak diajari bercita-cita terlalu jauh/tinggi. Mungkin juga karena orang tua yang ingin anaknya tinggal tidak jauh dari mereka atau anak perempuan hanya untuk mengurus orang tua di masa tua. Saya 3 bersaudara perempuan semua. Itu menjadikan orang tua saya bersikap adil dan tidak membeda-bedakan. Saya dibebaskan belajar apa yang saya mau dan kuliah di tempat yang saya inginkan. Saya bebas bercita-cita dan memilih pekerjaan. Saya tidak bisa memasak dan mencuci pakaian ketika saya menikah. Namun, suami saya baik dan sabar, sehingga saya belajar sedikit-sedikit bagaimana menghidangkan makanan enak buat keluarga. Dia juga tidak pernah menghalangi saya menulis gagasan saya secara terbuka.
Saya selalu beranggapan petuah ‘sumur, kasur, dan dapur’ ada benarnya, karena melalui keterampilan itu, seorang ibu bisa menjaga keluarganya. Kesehatan keluarga dan kepintaran anak salah satunya karena peran ibu. Namun, saya tidak setuju jika perempuan tidak boleh punya cita-cita sendiri dan menentukan hendak jadi apa dia kelak. Anak saya dua orang perempuan juga. Saya harap saya bisa menjadi contoh yang baik bagi mereka.
Secara umum, bagaimana pandangan Anda mengenai aktivitas perempuan Betawi di tengah budaya patriarki yang kental di masyarakat Betawi?
Perempuan Betawi saat ini sudah lebih maju. Banyak di antara mereka mengambil peran di masyarakat, sebagai guru, sebagai ustazah, ketua Rt, seniman, atau bahkan darwis kelurahan. Betawi itu egaliter. Hubungan suami istri juga setara. Patriarkal jadi patokan maksudnya ketika sopan santun terhadap laki-laki, misalnya sebagai kepala keluarga, tetap dijaga dan diperhatikan serta diutamakan.
Saya kira di masa sekarang tidak ada halangan bagi perempuan Betawi untuk berkiprah. Namun, tentu selalu ada kompromi. Misal, selalu mendahulukan keluarga. Ini persoalan klasik yang dialami perempuan yang berkarier di mana saja.
Namun, memang di bidang literasi, sangat sedikit perempuan yang menonjol. Ada Susy Aminah Aziz, ada Jaronah Abdullah, tapi mereka adalah penyair. Dalam bidang cerpen belum ada lagi selain saya. Yang membuat novel ada Ratih Kumala. Minat literasi memang masih perlu didorong. Saya kira keluarga punya peranan penting untuk menimbulkan anak-anak yang suka membaca.
Bagi sebagian orang, ada memang perempuan yang tidak bercita-cita terlalu tinggi. Misalnya hanya ingin menikah dan mengurus keluarga. Itu tidak salah dan itu adalah pilihan yang baik, juga mendapat pahala besar. Ibu saya seorang guru dan sejak kecil saya melihat dia melakukan kedua peran itu: di sekolah dan di rumah dengan luar biasa. Saya kira kita perlu memperbanyak contoh-contoh. Seperti saya terinspirasi ibu saya, sehingga sekarang saya yakin bisa melakukannya dengan baik. Ibu saya tidak pernah mengeluh, maka saya malu kalau mengatakan menjadi ibu yang bekerja itu susah.
Saat ini perempuan Betawi juga sudah banyak yang berkiprah sebagai jurnalis, PR perusahaan dan beberapa pekerjaan lain yang dianggap domain lelaki. Sebenernya zaman sekarang udah tidak aneh sih perempuan bekerja. Cuma kalau dia menikah, kan ya ada negoisasi. Kadang-kadang ada perempuan yang tidak memiliki itu. Jadi akhirnya peran perempuan Betawi di publik kurang, termasuk misalnya perempuan Betawi yang berpolitik. Kita cuma tahu Bu Sylviana Murni (Prof. Dr. Hj. Sylviana Murni, S.H., M.Si.).
Jadi kemerdekaan itu barang langka sebenarnya. Merdeka dalam pikiran dan tindakan.

Anda digadang-gadang sebagai salah satu calon sastrawan Betawi, bagaimana perasaan Anda?
Siapa yang menggadang-gadang? Sepertinya berlebihan sekali. Saya selalu menganggap sastrawan adalah orang pintar yang ada di menara tinggi. Saya berterima kasih sekali kalau disebut sastrawan, tapi saya lebih suka disebut penulis.
Bagi saya yang penting adalah memancing orang-orang untuk ikut menulis seperti saya. Saya harap lebih banyak orang Betawi yang menulis, bahwa pekerjaan ini bermanfaat dan tidak mustahil, bahkan dapat memberikan penghasilan juga.
Kalau tidak ada orang Betawi yang menulis, apa kita harus menunggu orang lain menulis soal Betawi. Lagipula, Pramoedya bilang, “menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Apa harapan Anda dalam 5 tahun ke depan terhadap perkembangan sastra Betawi?
Saya berharap kita punya ekosistem yang ajeg untuk mendorong perkembangan sastra Betawi, sehingga kita tidak lagi membicarakan kejayaan masa lalu. Kenapa tidak ada funding untuk menerbitkan puluhan buku soal Betawi per tahun? Kenapa tidak ada penghargaan seperti Ajip Rosidi membuat Penghargaan Rancage untuk sastrawan Sunda? Sudah saatnya kita berbuat aksi nyata, tidak hanya lips service. Adakan lomba sastra Betawi setiap tahun, lalu bukukan. Kalau kita bisa menciptakan pasar yang potensial, ada pembaca, banyak penulis akan muncul dan menawarkan karya. Sekarang sulit karena mereka tidak yakin apakah karya mereka akan laku kalau dilempar ke pasar?
Jika tiap tahun kita bisa menelurkan satu penulis baru–entah penulis cerpen, novel, atau puisi–saya kira itu bagus sekali dan lebih dari cukup.
Ke depan, banyak harapan orang kepada saya, agar saya terus menulis. Terus terang ini agak membebani karena saya menganggap menulis adalah aktivitas menyenangkan dan santai. Sebagian menantang saya menulis puisi dan sebagian lagi menantang saya membuat novel. Saya mengartikan ini sebagai kerinduan orang-orang terhadap karya berlatar belakang Betawi. Meski demikian, saya masih menerka-nerka cara penceritaan yang cocok karena saya ingin menarik pembaca yang lebih muda. Lagipula, penulis juga harus selalu menawarkan kebaruan dalam cara dia bercerita, membuat lapis demi lapis psikologis tokoh-tokohnya supaya pembaca bersimpati dan merasa dekat. Di sisi lain, kita tahu “tidak ada yang baru di bawah matahari”.