Betawipedia.com – Tradisi menggelar pengajian di masyarakat Betawi yang dilakukan dari rumah ke rumah atau biasa disebut dengan Majelis Taklim, sudah berkembang sejak abad ke-18. Dahulu, cara mengaji seperti ini kerap dilakukan oleh para ulama Betawi.
“Tradisi majelis taklim murni produk ulama Betawi,” ujar Prof. Murodi Al Batawi, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, di Kuliah Daring Gerakan Kebangkitan Betawi (Gerbang Betawi) bertema ‘Genealogis Ulama Betawi: Budaya, Identitas, dan Pembangunan Umat’, akhir pekan lalu (4/2).
Sebagian besar ulama Betawi, lanjutnya, adalah mereka yang belajar di Timur Tengah seperti Haramain (Mekkah dan Madinah). Kemudian ketika pulang ke Tanah Air, berbeda dengan kebanyakan santri asal Jawa yang mendirikan pesantren, ulama Betawi berdakwah dari masjid ke masjid, menciptakan tradisi yang kini dikenal sebagai majelis taklim.
Kuliah Gerbang Betawi kali menampilkan dua narasumber, yakni Prof Dr Murodi, dan penulis buku ‘Genealogi Ulama Betawi’, Rakhmat Zailani Kiki. Serta pembacaan sajak oleh budayawan Betawi Yahya Andi Saputra.
Menurut Prof Murodi, ada beragam sebutan untuk ulama di Betawi misalnya Guru atau Tuan Guru -diduga berasal dari tradisi Sumbawa atau Nusa Tenggara, Syekh (dipengaruhi Timur Tengah), dan Kiai yang diyakininya pengaruh tradisi pesantren di Jawa.
Namun, tradisi pesantren, tak dipraktikkan semua ulama Betawi. Ada beberapa Ulama Betawi yang membuat Pesantren, tersebutlah nama-nama besar seperti Guru Marzuki, Guru Mansyur, dan Kyai Noer Ali.
Gen Pejuang
Sementara itu, menurut Rakhmat Zailani Kiki, akar Ulama-Ulama Betawi beragam asal usul-nya. Ia memaparkan fakta nasab ulama-ulama Betawi, yang jika diurut garis keturunannya, ternyata banyak berpangkal pada ulama-ulama pejuang terkemuka dari Jawa. Ada yang nasabnya mengarah kepada Pangeran Diponegoro, Sunan Gunung Jati, dan Pangeran Kuningan..
Dalam paparannya ia memberi contoh, Guru Manshur Jembatan Lima. Guru Manshur, bila ditarik pada genealogi biologinya, adalah keturunan dari Muhammad Manshur bin Abdul Hamid bin Damiri bin Abdul Muhid bin Tumenggung Tjakra Jaya.
“Kyai Tumenggung Tjakra Jaya merupakan salah satu dari pengikut Sultan Agung yang berasal dari Mataram, Jawa,” ujarnya.
“Mereka semua bukan sekadar ulama, tapi ulama pejuang yang gigih menentang penjajahan. Jadi dalam gen ulama Betawi itu tertatam kuat gen pejuang,” ungkapnya.
Kata Kiki, ulama Betawi zaman dulu juga mandiri secara ekonomi, sehingga tidak tergantung kepada penguasa. Guru Mughni, misalnya, sempat dilarang Penjajah Belanda saat mendirikan masjid, tapi berkat kedudukannya sebagai ulama-pengusaha yang kaya raya, masjid tersebut berhasil dibangun. Kemandirian ekonomi ini merupakan modal penting yang mestinya juga dimiliki oleh para ulama zaman sekarang.
“Dengan mandiri secara ekonomi, dakwah mereka tidak akan mudah terkontaminasi kepentingan penguasa,” tutur Ustad Kiki yang pernah menjadi pengurus PWNU DKI Jakarta dan Jakarta Islamic Center ini.
Sementara itu, menuru Prof. Murodi, hal lain yang menarik adalah fungsi Ulama pada masa silam bukan sekadar sebagai pendakwah, namun memiliki talenta lain yang dipercaya masyarakat.
“Selain menjadi pendakwah, ciri khas lain dari ulama Betawi, juga melakukan peran lain. Tak heran, mereka memiliki kedudukan sentral di masyarakat. Multiperan itu termasuk jago maen pukul, selain menguasai ilmu agama. Bahkan ada ulama yang juga berperan sebagai dokter tradisional alias tabib,” jelasnya.
Singkatnya, dalam sejarahnya hingga kini, ulama Betawi berperan kuat sebagai perekat masyarakat. “Peran mereka lebih dari sekadar transfer ilmu pengetahuan,” tegas Prof Murodi.
Masyarakat Religius
Masyarakat Betawi selain masyarakat inti Jakarta, juga dikenal sebagai masyarakat yang religius. Tak heran Islam dan Betawi bagai tak dapat dipisahkan dan sebutan Betawi selalu dinisbahkan dengan Islam.
Zainut Tauhid Sa’adi, Wakil Menteri Agama RI, mengatakan masyarakat Betawi sebagai pilarnya masyarakat religius Indonesia. Salah satu ciri utama orang Betawi adalah umumnya menganut paham ‘ahlus sunnah wal jamaah’ dan bermazhab Imam Syafi’i sehingga cenderung memiliki toleransi tinggi.
“Paham ahlus sunnah wal jamaah ini moderat sehingga paham ini pada akhirnya mampu menetralisir konflik budaya dan agama. Bukan hanya di kalangan masyarakat Betawi, tapi juga Jakarta bahkan Indonesia,” kata Wamen Zainut ketika menjadi pembicara kunci
Wamen pun menceritakan teladan ulama besar Betawi KH Abdullah Syafii yang NU kepada sahabatnya Buya Hamka, tokoh Muhammdiyah. Persahabatan dua ulama besar itu begitu ikonik. Keduanya tahu tempat dan membawa diri masing-masing, sehingga selalu tampak rukun di kesempatan apa pun.