Budayawan Betawi, Yahya Andi Saputra, membuka lembaran slide presentasi. Sekejap kemudian, tampak di layar, slide bertajuk, ‘Betawi dalam lapis historis’ yang menggambarkan lapisan-lapisan sejarah lahirnya Jakarta.
“Jangan-jangan Betawi itu Bekasi, karena di daerah yang sekarang masuk wilayah Bekasi, banyak ditemukan artefek-artefak peninggalan kerajaan masa silam Salakanagara,” tutur peraih gelar master bidang sastra dari Universitas Indonesia yang juga peneliti pada Lembaga Kebudayaan Betawi pada forum ‘Ngaji Budaya’ yang digelar Lembaga Kebudayaan Betawi, pada Kamis (18/3).
Yahya melanjutkan, dalam beberapa penelitian menyebutkan, dulu Betawi melingkupi juga daerah-daerah yang kini terpisah-pisah menjadi berbagai wilayah administratif. Walau demikian, soal asal-usul Betawi sendiri perlu dilakukan penelitian yang mendalam. Mengingat sejumlah argumen memiliki data yang beragam.
Salakanagara oleh Budayawan Betawi Ridwan Saidi, disebut sebagai cikal bakal Betawi. Ia merujuk pada laporan ahli geografi Yunani bernama Claudius Ptolomeus pada tahun 160 masehi dalam buku Geografia yang menyebut bandar di daerah Iabadiou (Jawa) bernama ‘Argyre’ yang artinya perak. Dikaitkan pula dengan laporan dari Cina zaman Dinasti Han yang pada tahun 132 mengabarkan tentang kedatangan utusan Raja Ye Tiau bernama Tiao Pien. Salakanagara sendiri berarti Negeri Perak dalam bahasa sansekerta.
Baca Juga: Cing Yahya dan Puisinya

Ngaji Budaya, yang diselenggarakan rutin saban pekan itu untuk kali kedua membahas perihal Bekasi. Kali ini sejumlah budayawan Bekasi, juga terlibat membahas persoalan ‘kegamangan’ Bekasi. Pasalnya sejumlah aktivitas seni, kuliner dan bahkan bahasa tak berbeda dengan DKI Jakarta, namun secara administratif masuk dalam wilayah Jawa Barat.
“Sebagai contoh, ada juga seni tari atau kalau di kuliner misalnya ada manisan pepaya,” kata Kong Guntur, Seniman Bekasi yang turut dalam perhelatan ini.
Aki Maja, yang juga penggerak budaya Bekasi menambahkan, kuliner-kuliner lain yang juga serupa juga banyak dijumpai di Bekasi. Sebagai contoh, masakan Gabus Pucung (pucung= keluwek).
“Nasi uduk, semur dan makanan lain juga sama. Ini memperlihatkan bahwa Bekasi juga Betawi,” tambahnya.
Hal lain, dalam kesenian beladiri misalnya. GJ. Nawi dalam bukunya, ‘Maen Pukulan: Pencak SIlat Khas Betawi’ (2016) juga menunjukkan, banyak jago-jago silat Betawi yang kini bermukim di Bekasi.
Walau demikian, secara administratif saat ini Bekasi masuk dalam lingkung Jawa Barat, sehingga segala urusan administraif tak terkait dengan DKI Jakarta yang selama ini selalu identik dengan ‘rumah’ etnis Betawi. “Betawi Raya bisa juga melingkupi Bekasi dan juga Bogor,” sebut Aki Maja.
Megapolitan DKI Jakarta
Persis seperti konsep Megapolitan yang pernah digaungkan oleh pemerintah DKI Jakarta masa kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin. Saat awal memimpin Jakarta, Ali Sadikin merancang Rencana Induk pengembangan Jakarta. Pada tanggal 3 Mei 2967, melalui sidang DPRD Gotong Royong mengesahkan Rencana Induk melalui Surat Keputusan No. 9/DPRD-GR/P/1967.
Rencana Induk memuat 40 peta Jakarta masa itu dan masa depan untuk rentang 20 tahun. Peta-peta tersebut menunjukkan pengembangan Jakarta ke tiga wilayah Jawa Barat: Bogor di selatan, Tangerang di barat, dan Bekasi di timur.
Harapan mewujudkan konsep Jabotabek menjadi lebih konkret ketika pemerintah pusat mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 151 tahun 1975 tentang perubahan dan pembulatan batas wilayah DKI Jakarta. Dalam rencana itu, wilayah provinsi Jawa Barat dimasukkan dalam wilayah DKI Jakarta dan sebagian wilayah DKI Jakarta dimasukkan dalam wilayah provinsi Jawa Barat.
Dalam perkembangannya, gagasan ini tidak mudah diwujudkan. Hingga kini, DKI Jakarta yang diidentikkan sebagai ‘rumah’ etnis Betawi, tetap berdiri sendiri.
Walau begitu, sejatinya bila melihat kesamaan kultural, sejatinya Betawi itu adalah Bekasi dan Bekasi itu juga Betawi. Bukan ‘planet’ lain seperti halnya yang kerap digaungkan media sosial, bukan begitu?