Membangun Optimisme Pelestarian dari Setu Babakan
--
“Semoga Setu Babakan, bisa mendorong berkembangnya budaya Betawi,” harap Sabar Bin H. Bokir, sesaat sebelum mengakhiri pertunjukan lenong dalam rangka milad ke-21 Pusat Budaya Betawi Setu Babakan di, Srengseng Sawah, Ciganjur , Jakarta Selatan.
Sabar bin Bokir, pemimpin grup lenong Setia Warga ini hanyalah satu dari ratusan, bahkan ribuan seniman Betawi yang kini berharap dapat terus melestarikan budaya Betawi. Dinamika tanah Betawi yang menjadi Ibu Kota Negara sejak ratusan tahun, menjadikan budaya Betawi kental dengan campuran aneka budaya lain.
Oleh sebab itu, diperlukan sentra khusus untuk tetap mempertahankan budaya Betawi. Saat ini, beberapa daerah di Tanah Betawi, memang kental dengan budaya Betawi. Misalnya Condet, kemang dan juga Setu Babakan. Khusus Setu babakan yang ditetapkan sebagai Perkampungan Budaya Betawi pada tanggal 18 Agustus tahun 2000 melalui Surat Keputusan Gubernur DKI Nomor 92 tahun 2000. Beleid yang diteken oleh Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu Sutiyoso, diharapkan mampu menjadi katalis untuk bertumbuhnya pelestarian pelbagai macam budaya Betawi.
--Pemenatasan Lenong Betawi Grup Setia Warga di Setu Babakan
Perihal tanggal penetapan hari jadi yang bukan pada tanggal 18 Agustus, menurut Lahyanto Nadie, anggota Komisi Kesenian dan Pemasaran Forum Jibang PBB Setu Babakan, didasarkan pada prosesi peletakan batu pertama pembangunan PBB Setu Babakan, pada 15 September tahun 2000. Terlepas dari kapan hari lahirnya, N. Syamsuddin Ch. Haesy, budayawan Betawi dalam makalahnya menyambut milad Setu Babakan, menyebutkan, kawasan seluas 30 hektare ini kini berkembang sebagai kawasan wisata budaya khas yang mempunyai keunikan dimensional dengan beragam fungsi.
“Pertama, Destinasi wisata unik sekaligus oase budaya di tengah pusaran transformasi Jakarta; Kedua, sentra pengembangan ekonomi budaya berbasis ekologi dan ekosistem sosial; Ketiga, kawasan ajang presentasi dan eksibisi budaya (dengan huruf B capital) Betawi sebagai the unique multicultural ethnic, berbasis seni, ilmu pengetahuan dan teknologi; dan Keempat, sebagai laboratorium (termasuk sentra pendidikan) budaya multidimensi,” tulisnya dalam makalah yang berjudul Perspektif Transformasi Budaya Betawi dari Setu Babakan.
Sejak 1830
Setu Babakan, sejak awal dibuat memang difungsikan sebagai kawasan penyangga bagi kebutuhan pengairan di Batavia. Bukan sebagai pusat kebudayaan melainkan sebagai pusat pengairan yang vital bagi pertanian di sekitar Batavia (kini Jakarta). Pada akhir abad ke-19, Setu Babakan belum masuk dalam wilayah Batavia. Bahkan, hingga tahun 1914, pada peta yang dibuat oleh kartografer (Heinrich) Wagner & (Ernest) Debes, Leipzig (1914), batas wilayah selatan Batavia belum mencapai wilayah Srengseng Sawah. Kelurahan Srengseng Sawah yang berbatasan dengan Depok, dahulu masih berada pada penguasaan karisidenan Meester Cornelis.
Awalnya, pembangunan Setu Babakan dilakukan sebagai lanjutan upaya pemerintah Hindia Belanda, menggenjot produksi padi di bantaran sungai Ciliwung. Setelah Afdelling Buitenzorg (Bogor) sukses mencetak sawah, Resident Meester Cornelis, merasa perlu memanfaatkan lahan-lahan yang menjadi kawasannya untuk meningkat produksi hasil bumi berupa padi. Untuk itu, perlu dilakukan pembukaan sawah baru di kawasan yang dilalui Sungai Ciliwung.
Misalnya kawasan Kalibata, Tandjong West (Tanjung Barat), Lenteng Agoeng (Lenteng Agung) dan Pasar Minggoe (Pasar Minggu). Sayangnya, meski subur, kawasan ini terletak lebih tinggi dari aliran sungai Ciliwung.
Demi mendapat pasokan air, kemudian dibangunlah waduk yang kini dikenal dengan nama Setu Babakan itu. Akhir Martua Harahap, pemerhati sejarah yang tinggal di Depok Jawa Barat menuliskan dalam laman pribadinya, “Pemerintah di Afdeeling Meester Cornelis mulai berinisiatif membangun sawah-sawah (baru). Asisten/Residen Meester Cornelis memimpin perencanaan dan pembangunan sawah baru. Namun itu tidak mudah, karena air berada di bawah (sungai Tjiliwong, sungai Kroekoet dan sungai Kalibata). Dengan kata lain lahan-lahan yang potensial untuk sawah (subur dan luas) lebih tinggi dari permukaan aliran air yang ada. Lahan-lahan di Land Tandjong West dan lahan-lahan di Pasar Minggoe sangat sesuai dengan rencana pencetakan sawah baru. Lalu, tentu saja, mulai dilakukan studi kelayakan. Sumber air untuk mengairi sawah baru dapat diperoleh dengan membangun bendungan di Srengseng. Bendungan ini yang kelak disebut Setu Babakan.
“Dulunya daerah rawa, kemudian dibendung. Bendungan Setu Babakan itu dibangun tahun 1830an,” jelas Akhir Matua Harahap yang sejatinya berprofesi sebagai Dosen Ekonomi, pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia. Dalam artikel yang ditulisnya berjudul “Sejarah Kota Depok (42): Setu Babakan di Srengseng Dibangun 1830; Kini Menjadi Pusat Perkampungan Budaya Betawi” ia juga mengutip iklan koran Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, tertanggal 11-04-1866, bahwa biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan Setu Babakan terbilang besar.
--Peta Lenteng Agoeng tahun 1900 -sumber Poestahadepok.blogspot.com
Keberadaan Setu Babakan, kemudian terbukti mampu mengairi sejumlah sawah yang dibuka afdelling Meester Cornelis. Meski belum ditemukan, berapa besar produksi padi akibat adanya pembukaan lahan itu, namun seperti dikutip dari koran Roterdamsche Courant, terbitan 18 Agustus 1862, panen padi hingga 11 Mei 1862 di Batavia menunjukkan hasil yang memuaskan.
--Roterdamsche Courant (18/8/1862). Sumber perpustakaan digital delphner.
Kata lain, aliran air dari Setu Babakan membantu menyuburkan daerah lain di Batavia. Pun demikian di masa modern saat ini. Setu Babakan, meski fungsinya tak lagi ditekankan pada pasokan air bagi pertanian di Jakarta (dulu Batavia), sejatinya keberadaan Setu Babakan diharapkan bisa menjadi oase sekaligus inkubator bagi terus lestarinya budaya Betawi di Tanah Jakarta maupun Indonesia.
Untuk itu diperlukan keterlibatan berbagai pihak yang berkepentingan untuk memfungsikan Setu Babakan sebagaimana mestinya. Sebagai pusat pengembangan dan pelestarian Budaya Betawi. Agar para seniman maupun pemerhati budaya Betawi, mampu berkembang dan mempertahankan budaya Betawi untuk masa depan nanti. Bukan sekadar menjadi simbol Betawi dengan mengandalkan bangunan fisik yang megah.
Lebih penting dari itu adalah aktivitas nyata yang dapat menjaga kelestarian budaya Betawi bagi kepentingan warga Jakarta khususnya, maupun seluruh warga negara Indonesia pada umunya. Karena, “Di Jakarta Tuhan membuat Indonesia,” begitu tulis Lance Castles, peneliti Australia dalam bukunya: The Ethnic Profile of Djakarta (1967).
Sumber: