127 Tahun MH. Thamrin: Orang Betawi dan Nasib Kaum Miskin Kota (I)*

127 Tahun MH. Thamrin: Orang Betawi dan Nasib Kaum Miskin Kota (I)*

--

Tepat hari ini, 16 Februari 2021, andai Muhammad Husni Thamrin masih hidup, Pahlawan Nasional asal Sawah Besar, Jakarta ini berusia 127 tahun. MH Thamrin merupakan kelahiran 16 Februari 1894. tentu tak bisa terbayangkan, bagaimana fisiknya saat usia seperti ini andai dia hidup. Sunnatullah, setiap manusia hidup secara fisik hingga tak lebih dari 100 tahun usianya.

Menjadi ketentuan Illahi pula, bila ada pemikiran yang bermanfaat, maka usianya tak lekang dimakan zaman. Begitupun perjuangan pemikiran MH. Thamrin, yang masih relevan tak dilekang waktu.

Seperti dituliskan Roni Adi, Ketua Perkumpulan Betawi Kita & Pengurus Lembaga Kebudayaan Betawi, pada betawipedia.com, yang menyoroti kondisi Jakarta saat ini relevansinya dengan apa yang diperjuangkan MH Thamrin serta Perkoempoelan Kaoem Betawi di masa silam.

Sekali lagi, intelektual Betawi membuktikan sumbangsihnya untuk Indonesia. Selamat menikmati, silat pikir ‘pendekar’ Betawi. Tabik! (BangBul)

*******

Pembangunan di DKI Jakarta dan Peran Aspek Budaya Orang Betawi

Berdasarkan data BPS DKI Jakarta yang dirilis pada Senin (15/2/2021) jumlah penduduk miskin di Ibu Kota DKI Jakarta pada September 2020 meningkat menjadi 496,84 ribu orang atau 4,69 persen dari total penduduk Jakarta, masih lebih rendah dibandingkan kenaikan jumlah penduduk miskin secara nasional sebesar 11,1%. Bila dibandingkan dengan keadaan enam bulan lalu sejak wabah Covid-19 melanda Indonesia pada Maret 2020, kenaikan ini masih relatif kecil di mana pertambahan penduduk miskin sebesar 0,16 persen. Deflasi pada kelompok bahan makanan sebesar -0,495 persen membantu meringankan beban pengeluaran konsumsi. Di sisi lain, berbagai bantuan sosial yang dikucurkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi berkontribusi menjaga stabilitas konsumsi masyarakat miskin dan hampir miskin di DKI Jakarta.


Gambar : Profil kemiskinan di DKI Jakarta per September 2020 (rilis BPS DKI Jakarta 15/2/2021)

Berbagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengatasi persoalan kemiskinan telah banyak dilakukan oleh pemerintah daerah DKI Jakarta, namun hasilnya masih kurang memuaskan. Apalagi di tengah masa pandemi Covid-19 ini jumlah penduduk miskin di Jakarta sangat sulit dikurangi, terutama di wilayah pesisir Jakarta sejak sekitar sepuluh tahun terakhir menurut data Badan Pusat Statistik. Diduga budaya berperan sebagai salah satu penyebabnya. Fenomena ini terjadi pada penduduk asli (Betawi) dan juga terjadi pada penduduk pendatang. Di sisi lain, terjadi pula fenomena sebagian masyarakat Betawi yang mengalami proses pemiskinan sehingga tidak bisa bertahan di Jakarta dan pindah ke pinggiran ibukota.

Menarik untuk disimak hasil penelitian mengenai orientasi nilai-budaya pada penduduk Betawi miskin vis a vis penduduk pendatang miskin yang dilakukan oleh Diana Aryanti (2011). Penelitian yang dilakukan secara mendalam pada tahun 2007 di Kelurahan Marunda (Jakarta Utara), Kelurahan Kebagusan (Jakarta Selatan), dan Kelurahan Menteng Dalam (Jakarta Selatan) dengan menggunakan metode sampling bertahap.

Hasil penelitian Diana Aryanti menunjukkan bahwa hal positif yang sudah diyakini baik penduduk Betawi maupun pendatang adalah bahwa mereka telah menyadari bahwa untuk memperbaiki taraf hidup diperlukan ikhtiar, namun cara berikhtiar pada Betawi, berbeda dengan pendatang.

Budaya yang progresif/berpihak pada kemajuan cenderung jumlahnya lebih banyak pada kaum pendatang dibandingkan pada Betawi. Hal ini terlihat dari usaha yang lebih kongkrit, motivasi dalam berusaha, keinginan untuk berdagang, rajin/tekun dalam bekerja, keinginan untuk mencoba beragam pekerjaan, terlihat lebih kuat pada pendatang. Orang Betawi cenderung bersikap menerima keadaan hidupnya yang barangkali disebabkan mereka terbiasa hidup nyaman di daerahnya sendiri dan belum terlihat kecenderungan memiliki jiwa kewirausahaan. Pada beberapa kasus ditemui prinsip gengsi bila melakukan pekerjaan kasar.

Untuk saat ini keadaan penduduk miskin Betawi cenderung masih tertanggulangi oleh aset warisan tanah/rumah atau terjamin kehidupannya oleh kerabat dekat. Keadaan ini sesungguhnya merupakan kelebihan yang disandang oleh kepala rumah tangga Betawi, namun sifatnya cenderung tidak akan abadi karena aset yang jumlahnya semakin minim itu pun bisa menjadi habis dan kehidupan kerabat dekat juga bisa jadi tak selamanya baik. Kondisi ini diam-diam justru akan membuat penduduk Betawi terlena dan akhirnya terpinggirkan, kalah bersaing dengan pendatang yang datang ke Jakarta dengan keinginan memperbaiki taraf hidupnya.

Lanjut: Relevansi PerjuanganMH. Thamrin & Perhimpoenan Kaoem Betawi

*Oleh : Roni Adi – Ketua Perkumpulan Betawi Kita & Pengurus Lembaga Kebudayaan Betawi

Sumber: