Mahbub Djunaidi Si Nakal Jenaka

Mahbub Djunaidi Si Nakal Jenaka

--

Oleh Nasihin Masha*

Pengantar: 22 Juli adalah tanggal kelahiran kolumnis terbesar Indonesia, Mahbub Djunaidi. Ia lahir pada 1933. Pria Betawi ini lahir dan besar di Jakarta. Namun ia memilih Bandung sebagai tempat untuk menikmati hari tuanya. Pada 1 Oktober 1995, penulis satire humor ini meninggal dunia. Tulisannya yang jenaka dan tajam masih bisa dinikmati dari tiga buku kumpulan tulisannya. Pada 22 Juli 2021 ini, jatuh pada hari Kamis, tepat 88 tahun kelahirannya. Untuk mengenang Mahbub, saya menulis catatan yang lumayan panjang. Selamat menikmati.

——-

Saya tak mengenal H Mahbub Djunaidi secara langsung. Interaksinya justru ketika kolumnis kawakan itu terbujur menjadi jenazah. Pria Betawi itu tinggal dan meninggal di Bandung, di kompleks perumahan wartawan. Saat itu saya sebagai kepala Biro Republika Bandung. Saya datang bertakziyah serta ikut tahlil di hari pertama. Pertama, beliau adalah kolumnis yang saya kagumi. Kedua, beliau adalah wartawan sangat senior, dan saya wartawan baru, sehingga patut untuk memberi penghormatan. Ketiga, saya sekalian melakukan liputan. Saya bertanya kepada salah satu anaknya yang pria, apakah almarhum sedang menulis sesuatu? Ternyata Mahbub sedang menulis untuk kolom Asal-Usul di Kompas Minggu. Judulnya: Cartagena. Tulisan itu belum selesai.

Selebihnya saya mengenalnya lewat tulisannya di kolom Asal-Usul. Kali pertama saya mendengar namanya saat saya SMA. Saat itu sedang ada pesantren kilat di Palimanan, Kabupaten Cirebon. Bulan Ramadhan. Beliau menjadi salah satu pembicaranya, bersama Fachry Ali. Tapi tak banyak yang bisa saya ingat dari kejadian itu. Saya mulai mengaguminya saat saya kuliah. Saya menikmati kolomnya di Asal-Usul. Nakal dan jenaka. Ringan dan tajam. Lucu dan serius. Semua tersaji bersama, dalam satu tulisan singkat. Pujian untuk itu hanya singkat saja: Tak tertandingi! Dua hal yang saya ingat adalah ketika Mahbub menulis tentang Titiek Puspa dan Muhammad Yamin. Sayang dua tulisan itu tak saya kliping. Padahal dari tulisan itu bisa sedikit tergambar tentang Titiek Puspa dan Muhammad Yamin.

Sepertinya, dua tulisan itu tak dimuat dalam buku kumpulan kolomnya di Kompas tersebut. Judul bukunya sama dengan judul rubriknya: Asal-Usul. Buku ini kali pertama terbit pada 1996, diterbitkan Gramedia. Buku ini diterbitkan kembali pada 2018 oleh penerbit Ircisod, Yogyakarta. Rupanya ada kerinduan publik terhadap tulisan-tulisan Mahbub. Kumpulan tulisannya di berbagai media massa juga sudah diterbitkan menjadi buku dengan judul Humor Jurnalistik. Buku ini terbit pada 1986 oleh penerbit Indera Aksara. Kesuksesan menerbitkan Asal-Usul membuat Ircisod juga menerbitkan ulang buku Humor Jurnalistik pada 2018. Pada tahun yang sama, Iricsod juga telah menerbitkan ulang kumpulan tulisan Mahbub di majalah Tempo. Judul kumpulan tulisan di majalah mingguan tersebut adalah Kolom Demi Kolom, awalnya diterbitkan pada 1986. Buku ini cetak ulang pada 1989. Kedua edisi itu diterbitkan penerbit Haji Masagung.

Sebelumnya, juga terbit novel terjemahan Mahbub berjudul Binatangisme karya George Orwell pada 2017 oleh penerbit Gading, Yogyakarta. Ini adalah terbitan ulang dari terbitan Iqra, Bandung, pada 1983. Karya terjemahan Mahbub yang lain yang diterbitkan ulang adalah buku karya Michael H Hart yang berjudul Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah. Buku itu diterbitkan Pustaka Jaya pada 1982 dan terbit hingga belasan kali. Saking larisnya, buku ini terbit dengan dua versi, soft cover dan hard cover. Edisi Bahasa Inggris buku ini terbit pertama pada 1978, namun direvisi pada 1992. Edisi revisi itu kemudian diterbitkan dalam Bahasa Indonesia pada 2009 oleh penerbit Hikmah, dari grup Mizan, tapi bukan terjemahan Mahbub—Mahbub telah meninggal pada 1995. Revisi itu dilakukan berdasarkan masukan pada Hart sehingga ada nama-nama yang dikeluarkan dari daftar 100 tokoh dan ada nama-nama baru yang masuk. Selain itu juga ada perubahan peringkat. Toh, kendati sudah ada edisi revisi dan telah pula diterbitkan dalam Bahasa Indonesia dengan penerjemah bukan Mahbub, namun masih ada penerbit yang bersedia menerbitkan buku 100 tokoh terjemahan Mahbub dengan daftar tokoh-tokoh yang belum direvisi. Buku ini diterbitkan lagi oleh penerbit Ircisod.

Kita tunggu, apakah akan ada penerbit lain yang akan menerbitkan ulang karya-karya Mahbub yang lain. Novel karya Jules Verne, penulis fiksi sains, pun pernah diterjemahkan Mahbub, 80 Hari Keliling Dunia, dan diterbitkan Iqra, Bandung. Penerbit Iqra juga menerbitkan buku terjemahan Mahbub yang berjudul Lawrence dari Arabia karya Philip Knightley. Buku karya Hassanein Heikal pun ia terjemahkan. Buku berjudul Di Kaki Langit Gurun Sinai berkisah tentang Palestina. Reportasenya sebagai wartawan tentang kaum Moro di Filipina Selatan pun telah terbit menjadi buku. Selain sebagai wartawan, Mahbub juga seorang sastrawan. Ia telah menulis novel berjudul Angin Musim dan Dari Hari ke Hari. Novel Dari Hari ke Hari semacam kisahnya sendiri saat Mahbub kecil diajak hijrah orang tuanya dari Jakarta ke Solo karena perang akibat agresi Belanda. Novel terbitan 1975 (Pustaka Jaya) ini terbit ulang pada 2014 oleh Majalah Surah dan Yayasan Saifuddin Zuhri—Mahbub memang tokoh NU. Aktivis HMI ini mendirikan PMII dan menjadi ketua umumnya selama tiga periode. Ia juga pernah menjadi Wakil Ketua Umum PBNU dan Wakil Ketua Umum PPP.

Mahbub juga menerjemahkan novel karya Art Buchwald yang berjudul Cakar-cakar Irving. Novel ini diterbitkan Iqra pada 1982. Novel ini justru penting bagi Mahbub. Karena Buchwald adalah penulis yang dikagumi Mahbub. Gaya jenaka dan satire Mahbub mirip kolumnis dan novelis asal Amerika Serikat tersebut. Sedangkan gaya metafora ia dapatkan dari Orwell. Mahbub juga mengagumi Karl May dan Mark Twain, dua novelis besar. Idrus, sastrawan Indonesia, juga memengaruhi gaya penulisan Mahbub.

Sebagai wartawan, Mahbub berkarier di Duta Masyarakat, koran milik NU. Di sini ia kemudian menjadi Pemimpin Redaksi. Ia juga pernah menjadi Ketua Umum PWI Pusat dan kemudian menjadi Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat. Aktivitas politik dan ceramah-ceramahnya membuat Mahbub pernah dipenjara oleh Orde Baru, tanpa proses pengadilan. Di penjara ia berhasil menulis novel Angin Musim dan menerjemahkan Road to Ramadhan karya Hassanein Heikal.

Selain pengaruh Buchwald, Orwell, Verne, Idrus, dan lain-lain, latar belakang Mahbub sebagai orang Betawi merupakan bekalnya yang sejati. Orang Betawi dikenal dengan gaya apa adanya, ceplas-ceplos, diksinya tak terduga, dan lucu. Kata lucu sebetulnya bisa dimaknai bagi orang dari luar subkultur yang lain, karena bagi orang Betawi justru sedang tidak melucu. Namun Mahbub menggunakannya secara sadar sebagai pemikat tulisan-tulisannya, termasuk tulisan terjemahannya. Betawi sebagai budaya melting pot bisa dilihat pada bahasa, ondel-ondel, lenong, pantun, dan lain-lain.

Aktivis

Mahbub bukanlah penulis biasa. Ia berangkat sebagai seorang aktivis. Apalagi ia dibesarkan di masa pergolakan revolusi mempertahankan kemerdekaan. Mahbub lahir di Jakarta pada 22 Juli 1933 dan meninggal di Bandung pada 1 Oktober 1995. Ibunya bernama Muchsinati dan ayahnya bernama KH Muhammad Djunaidi, seorang tokoh NU yang terpilih menjadi anggota DPR pada pemilu 1955. Ia anak pertama dari 13 bersaudara. Mertuanya pun seorang kiai, KH Asymawi. Kesadaran kritis dan bakat menulisnya justru terpantik ketika ia dan keluarganya hijrah ke Solo akibat agresi Belanda pada 1947. Di sini ia dikenalkan pada karya-karya sastra dunia dan Indonesia. Namun ketika agresi Belanda masuk ke Solo pada 1948, keluarga Djunaidi kembali ke Jakarta. Saat sekolah menengah, di SMA Negeri Boedi Oetomo, bakat menulis Mahbub mulai kelihatan. Tulisan-tulisan fiksinya sudah bertebaran di media-media sastra bergengsi saat itu seperti KisahSiasatStar WeeklyMimbar Indonesia, dan Cinta. Bahkan sejak SMP (tamat 1952) cerpennya yang berjudul Tanah Mati sudah dimuat majalah Kisah, yang diasuh HB Jassin. Paus sastra itu bahkan membuat komentar atas cerpen itu. Peristiwa ini tak terlupakan oleh Mahbub. Di masa SMA ia juga mendirikan majalah sekolah, Siswa. Mahbub menjadi pemimpin redaksinya.

Saat kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (tidak tamat), ia aktif di HMI. Namun sebagai keluarga NU, ia kemudian mendirikan PMII. Apalagi saat SMA ia telah aktif di organisasi pelajar NU, IPNU. Di PMII ini ia terpilih sebagai ketua umum pertama. Ia menjabat tiga periode sejak 1960 hingga 1967. Setelah itu ia ikut GP Ansor, menjadi salah satu ketua tapi kemudian tak banyak aktif. Mahbub lah yang menciptakan lirik lagu mars PMII dan mars Ansor.

Sebagai wartawan, bapak tujuh anak ini tak hanya menjadi wartawan profesional, yang melakukan reportase dan menuliskan laporan serta pendapatnya. Mahbub juga aktif di organisasi pers, Persatuan Wartawan Indonesia. Di masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, Mahbub adalah Ketua Umum PWI Pusat pertama di era Soeharto. Rezim ini membersihkan organisasi pers dari unsur pro Orde Lama. Melalui Kongres ke-12 pada 4-7 November 1965, dua bulan setelah tragedi G30S/PKI, Mahbub menjadi Ketua Umum PWI Pusat hingga tahun 1970. Sebelumnya, sejak 1963 ia menjadi Wakil Ketua Umum PWI Pusat, mendampingi Karim DP. Saat memimpin PWI, ia berduet dengan Jakob Oetama dari Kompas yang menjadi Sekjen. Setelah itu Mahbub menjadi Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat. Lembaga ini adalah lembaga terhormat di PWI. Lembaga ini bertugas menjaga moral dan sikap profesional wartawan, dan yang utama adalah menjaga kode etik jurnalistik.

Sebagai seorang wartawan di masa itu, Mahbub juga memiliki afiliasi politik. Saat itu tiap partai memiliki media masing-masing. Duta Masyarakat adalah koran milik Partai NU. Di sini ia meniti karier mulai dari reporter pada 1958. Hingga kemudian ia menjadi Pemimpin Redaksinya pada 1960-1970. Kendati begitu, Mahbub mengelola Duta Masyarakat secara profesional. Setelah tak lagi memimpin PWI, Mahbub menjadi Wakil Sekjen NU pada 1970-1979. Ia juga menjadi Anggota DPR RI pada 1977-1982 mewakili PPP. Setelah NU kembali ke Khittah 1926, Mahbub menjadi Wakil Ketua Umum, mendampingi Gus Dur. Walau sama-sama sependapat agar NU kembali ke Khittah 1926, Mahbub ada perbedaan dengan Gus Dur. Mahbub menghendaki khitah plus, yaitu tetap memiliki sikap politik.

Aktivitas politik Mahbub mengantarkan dirinya ke parlemen. Sejak 1960 ia menjadi anggota DPR GR/MPRS, di masa Demokrasi Terpimpin. Ini artinya ia merangkap dengan jabatannya sebagai Pemimpin Redaksi Duta Masyarakat. Keanggotaannya di DPR ia manfaatkan untuk memperjuangkan pers. Atas inisiatifnya, dan menjadi satu-satunya undang-undang atas inisiatif DPR masa itu, ia mengusulkan lahirnya UU tentang Ketentuan Pokok Pers. Ia kemudian ditunjuk menjadi Ketua Pansusnya. Sedangkan Sekretarisnya adalah M Said Budairy, yang juga Wakil Pemimpin Redaksi di Duta Masyarakat. Mahbub memang selalu diiringi Budairy. Di PMII, Mahbub Ketua Umum, Budairy Sekjen yang pertama. Saat Mahbub menjadi Ketua Umum PWI Pusat, Budairy menjadi Wakil Sekjen lalu menjadi Bendahara.

Di politik, Mahbub pernah menjadi Wakil Ketua Umum DPP PPP dan Wakil Ketua MPP PPP. Di NU ia pernah menjadi Wakil Sekjen PBNU (1970-1979) dan Wakil Ketua Umum PBNU (1984-1989). Selain aktif menulis, Mahbub juga aktif berceramah dan menjadi pembicara seminar di kampus dan di manapun. Pada 1977-1978, politik memanas. Mahasiswa bergolak dan berdemonstrasi. Sejumlah pers juga mengalami pembredelan pada 1977 dan 1978 tersebut. Isu pergantian presiden sempat muncul. Mahbub pun menjadi korbannya. Ia ditangkap dan dijebloskan ke penjara, tanpa melalui proses pengadilan dan tak jelas apa kesalahannya. Mahbub dipenjara di rumah tahanan era kolonial Nirbaya, di Pinang Ranti, Pondok Gede, Jakarta Timur (sekarang rumah tahanan ini sudah tidak ada, dekat TMII. Di sinilah para pembangkang Orde Baru pernah ditahan seperti Mochtar Lubis, Bung Tomo, Hariman Siregar, dan Adnan Buyung Nasution). Karena sakit, ia kemudian dipindahkan ke RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Sejak penahanan itulah Mahbub tak pernah sehat sepenuhnya, hingga meninggalnya pada 1995.

Mahbub memiliki perhatian terhadap ketidakadilan. Saat HMI hendak dibubarkan atas desakan PKI, ia menghadap Presiden Sukarno di Istana Bogor. Ia meminta agar HMI jangan dibubarkan. Duta Masyarakat, koran yang ia pimpin, juga melakukan pembelaan terhadap Buya Hamka yang mengalami persekusi dari kelompok Lekra yang dipimpin Pramoedya Ananta Toer dan berafiliasi ke PKI. Yang menjadi titik masuknya adalah novel Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, novel yang terbit pada 1930-an. Hamka dituduh plagiat. Namun HB Jassin dan Mahbub membelanya. Tapi Hamka tetap dipenjara, tanpa proses pengadilan. Saat itu PKI terus merontokkan lawan-lawan politiknya satu per satu, target pertama adalah kekuatan Islam. Di masa Orde Baru, Mahbub juga melakukan pembelaan terhadap Pramoedya Ananta Toer dengan tetralogi Pulau Buru-nya. Saat itu, pemerintah Orde Baru melarang novel-novel karya Pram.

Mahbub dua kali menulis artikel untuk membela Pram dan menolak pelarangan novel-novel tersebut. Tapi tak ada media yang berani menurunkan semua tulisan itu. Mahbub tak kehilangan akal, melalui pintu bahasa, ia menemui Mendikbud saat itu, Fuad Hasan. Mahbub berpendapat Pram adalah orang dengan kecakapan berbahasa Indonesia yang terbaik. Atas pembelaannya itu, Pram sangat menghormati Mahbub. Kisah ini bisa dibaca pada buku Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali. Pram juga datang khusus menemui Mahbub di rumahnya di Bandung. Pram yang jarang bicara memberikan testimoni justru menyorongkan diri untuk bicara memuji Mahbub, dan ia datang ke kuburan Mahbub untuk memberikan penghormatan terakhir.

Penulis Otonom, Pribadi Bebas

Hamid Basyaib, seorang penulis yang memikat, pernah menulis kolom tentang Mahbub. Ia menggambarkan Mahbub dengan gambaran “tidak ada penulis lain Indonesia yang menulis seperti Mahbub Djunaidi. Ia the one and only dalam kancah kepenulisan kita. Ia mengolah langgam dasar dan idiom kebetawiannya dengan cemerlang”. Menurutnya, selain menyusun kalimat yang sangat khas, dengan struktur yang tak selamanya beres, Mahbub juga memiliki diksi yang agak ganjil tetapi “benar”, kocak, dan memikat. Hamid menilai Mahbub termasuk bintang jurnalistik Indonesia generasi kedua di era kemerdekaan setelah Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, dan BM Diah.

Dalam hal penerjemahan, Mahbub dinilai Hamid menerjemahkan dengan begitu rileks, dengan pilihan diksi yang serampangannya menggelikan. “Saya bayangkan ia menerjemahkan buku-buku itu bukan kalimat per kalimat, tapi per paragraf atau bahkan per halaman. Ia tak merasa perlu untuk selalu setia pada teks asli. Ia sangat percaya diri dengan pemahamannya atas teks itu lalu mengindonesiakannya dengan caranya sendiri,” katanya. Bahkan, katanya, “Semuanya tunduk pada gaya personal sang penerjemah. Semua buku itu jadi seakan karya asli Mahbub Djunaidi.”

Hamid pun menjelaskan tentang diksi yang digunakan dalam menerjemahkan buku-buku atau novel-novel berbahasa Inggris, misalnya, dengan kata “brojol” atau “sontoloyo”. Kita bisa membayangkan kata apa yang digunakan penulis aslinya sehingga Mahbub menggunakan diksi seperti itu. Mahbub juga memberikan deskripsi tentang orang dengan cara yang sama, misalnya Pablo Neruda dideskripsikan berpipi tembem. Namun gaya ringannya sangat memudahkan pembacanya memahami sesuatu yang rumit dengan gambaran keseharian. Misalnya tentang pengertian modern, sebuah diksi yang digelorakan di awal Orde Baru, dengan perumpamaan “jangan sampai orang jalan ke depan, kita jalan miring”. Lalu bagaimana ia menerangkan tentang pengertian revolusi? Menurut Mahbub, “tukang daging mengamuk di pasar dan acung-acungkan dia punya golok” bukanlah revolusi, tapi “orang kalap biasa yang kepalanya mesti disiram air kulkas”. Seringnya revolusi di Amerika Latin diumpamakan sebagai “persis orang ganti singlet”. Itulah poin-poin yang dicatat Hamid sehingga ia membuat kesimpulan seperti tadi.

Goenawan Mohamad—wartawan, sastrawan, dan aktivis—mengawali tulisannya tentang Mahbub dengan kalimat emosional: “Saya punya kecemburuan pada Mahbub”. Pendiri dan mantan Pemred Tempo ini melanjutkan, “Bagaimana dia bisa menulis hingga orang tertawa, padahal isinya cukup serius?” Bagi Goenawan, Mahbub adalah penulis kolom yang belum tertandingi siapapun. Lalu ia membandingkannya dengan Achdiat K Mihardja, MAW Brouwer, Sutjipto Wirasardjono, dan Umar Kayam. Dengan Achdiat, kata Goenawan, serupa tapi tak sama. Pada Mahbub ada ketangkasan yang menyatu dengan seluruh ide atau isi tulisan. Menurutnya, letak mutu sebuah prosa yang baik adalah ide tidak membebani gaya dan gaya tak menyebal dari ide.

Kelebihan Mahbub, kata Goenawan, pada penggunaan perumpamaan yang tak pernah membosankan karena selalu tak terduga. Apalagi ia menulisnya dalam kolom yang pendek dan dalam genre yang paling sukar, yaitu genre humor. Goenawan juga membandingkannya dengan Art Buchwald, penulis satire yang juga digemari Mahbub. Menurut Goenawan, pada Buchwald ada suspens yang selalu terjaga. Sedangkan pada Mahbub, kata Goenawan, ada sesuatu yang lebih. “Mahbub meneroboskan Bahasa Indonesia melewati jarring-jaring bahasa.” Maksudnya adalah, Mahbub berhasil memerdekakan bahasa dari jebakan birokratisasi bahasa. Bahasa menjadi tidak formal dan kaku. Ini menunjukkan bahwa antifeodalisme Mahbub pun menusuk ke soal bahasa, bukan sekadar dalam kehidupan sosial.

Jakob Oetama, pendiri dan mantan Pemred Kompas, menilai bahwa Mahbub “memandang persoalan dari seginya yang kocak”. Gaya menulis Mahbub oleh Jakob bisa menjadi gaya dan format berekspresi media cetak. “Gaya ringan dan menyenangkan,” katanya.

Jakob yang mengenal dekat secara pribadi dengan Mahbub menilai Mahbub sebagai pribadi yang ringan ceria dan kocak berolok. “Ia tidak kelewat melihat ke atas atau ke bawah. Semua orang adalah sesamanya, tidak bermartabat lebih tinggi atau lebih rendah […] Lapisan pergaulannya termasuk luas dan semuanya disapa dengan Anda, dengan saudara, dengan bung,” kata Jakob. Sebagai wartawan dan pemimpin organisasi wartawan, kata Jakob, Mahbub menjaganya sebagai profesi dan organisasi yang mandiri.

Tentang hal ini, Mahbub pernah menuliskannya sendiri dalam sebuah artikelnya yang berjudul Pergeseran Tata Nilai NU. Mahbub mengisahkan perbedaan dirinya sebagai pemimpin redaksi Duta Masyarakat dengan KH Idham Chalid selaku Ketua Umum Partai NU yang merupakan pemilik koran tersebut. Saya kutip secara lengkap:

“Sebagai pemimpin redaksi koran Partai NU, saya tidak begitu saja tunduk pada jalan pikirannya. Berulang kali saya ditegur, tapi saya nekad. Saya percaya, sayalah yang benar karena jurnalistik memang bidang saya. Apa akibatnya? Akibatnya tentunya pada suatu saat turun suatu keputusan yang isinya cukup jelas: Harian Duta Masyarakat dipecat selaku organ resmi Partai NU! Kendati akhirnya rujuk lagi, tapi yang jelas harian resmi Partai NU itu pernah jadi anak gelandangan.”

Begitulah Mahbub. Orang yang bisa menjaga sikap dasarnya sebagai wartawan yang hanya tunduk pada prinsip jurnalisme dan kode etik jurnalistik. Ia mampu menjaga independensi redaksi dari intervensi siapapun. Di era pers Indonesia saat ini, independensi newsroom merupakan barang langka—justru ketika politik tak bisa lagi secara langsung menerobos ruang redaksi. Era pers kapitalis ini justru merupakan era subur bagi simbiosis kapitalis dan antidemokrasi bisa menyatu dalam senyap. Media bagi kapitalis tak lebih hanya barang modal untuk menggapai keuntungan bisnis dan politik. Para wartawan pun hanya buruh belaka. Tentu tak semua media dan semua wartawan tunduk pada rimba kapitalisme, masih banyak yang seperti Mahbub.

Nakal, Jenaka, Tak Terduga

Mahbub adalah penulis yang nakal. Kenakalan itu tak hanya ditunjukkan saat menggambarkan sesuatu atau saat membuat perumpamaan. Tapi juga saat menerjemahkan novel-novel dari penulis-penulis top dunia. Daftar diksi pada buku atau novel terjemahan Mahbub bisa diperpanjang seperti “bunsyet, kucing garong, ya robbi, rezeki nomplok, sampeyan’ yang bisa ditemukan di novel karya Art Buchwald yang berjudul Cakar-cakar Irving. Pada novel itu juga ditemukan diksi atau frasa yang khas Betawi, seperti “mulai kurangan muaknya” dan “ngapain kalian di sini”.

Mahbub bukan hanya otonom dalam menerjemahkan buku serta lincah dalam memilih diksi yang lucu dan konyol, tapi juga seorang pengritik yang tajam dan sadis. Satirenya yang pedas tentang jargon Pancasila yang selalu didengung-dengungkan Orde Baru dalam sistem yang represif dan otoriter ia jelaskan dengan satu kalimat singkat: “Atau kalau seorang bicara Pancasila sambil bawa kelewang di tangan, boleh jadi dia ngecap”. (Sebutan, 15 Februari 1987). Soeharto yang jargonnya adalah menghayati dan mengamalkan Pancasila secara murni dan konsekuen, justru menerapkannya dengan tangan besi. Kritiknya tentang orang-orang yang gemar teriak Pancasila sambil merepresi lawan-lawan politiknya tetap relevan hingga saat ini.

Ketidaksukaannya pada feodalisme ia gambarkan dengan cara yang sadis: “Walau anak kanjeng sekalipun jika ia bertahun-tahun dibiarkan main-main di terminal, sulit diharapkan bisa menjadi kanjeng, paling-paling tukang catut karcis”. (Keturunan, 5 April 1987).

Masih soal feodalisme: “Saya kepingin betul jadi Raden Mas, tapi tak tahu dijual di toko mana, juga tak punya duit untuk membelinya.” (Bangsawan, 30 Agustus 1987). Pada tulisan yang sama ia menjelaskan: “Tapi sekarang? Apa bedanya seorang Raden Mas dengan seorang makelar mobil?” Antara menggerutu dan melucu serta mengritik menjadi campur aduk. Mungkin jika ia menuliskannya saat ini bisa diperluas pada politik dinasti yang sedang tren dilakukan elite politik saat ini.

Tulisannya yang berjudul Indlander (Tempo, 10 Agustus 1985) mewakili seluruh sikapnya terhadap antifeodalisme. Si inlander itu digambarkan sebagai birokrat era kolonial dan berlanjut hingga setelah merdeka: “Memandang pemerintah kolonial seperti seorang om yang bisa beri sesuap nasi, yang lebih lemah daripada cacing karena tak melawan sama sekali di bawah pijakannya, yang takut kepada bangsa asing seakan-akan mereka itu makhluk angkasa luar, menganggap mereka punya segala kelebihan dan kebolehan bagaikan insan yang terbuat dari perunggu. (Humor Jurnalistik, hlm 24)

Mahbub menilai manusia inlander ini “masih cukup lumayan banyak” kendati Indonesia sudah merdeka. Bahkan kelakuan mereka ini ia gambarkan masih “sangat mulus”. “Seakan-akan baru keluar dari pabrik,” katanya. “Bangsa asing yang dari udik sekalipun, betul-betul digandrunginya untuk dikecup jidatnya. Ia merasa dirinya tak lebih dari sebangsa kecoak. Bangku sekolah kolonial berhasil membuatnya jadi manusia sontoloyo dan berperangaikan seorang jongos,” katanya.

Betapa muaknya Mahbub menyaksikan sikap rendah diri bangsanya. Kata-katanya keras, bahkan kasar. Perumpamaan-perumpamaannya sangat mengiris. Tapi apa yang ia gambarkan benar adanya, bahkan hingga kini, 36 tahun setelah tulisan itu dibuat. Atau 76 tahun setelah Indonesia merdeka. Sistem pendidikan dan kepemimpinan bangsa ini belum mampu mengikis sikap inlander, rendah diri, terhadap bangsa asing. Dalam hal kemampuan untuk percaya diri ini harus belajar dari para pemimpin Vietnam, Malaysia, Singapura, Tiongkok, Jepang. Sikap inlander ini membuat kita tak menyadari telah menjadi budak, jongos. Jika di masa lalu kita menjadi budak bangsa-bangsa Eropa, maka kini kita menjadi budak bagi semua bangsa. Penyelundupan, penyuapan, ‘pengkacungan’ oleh bangsa-bangsa lain terhadap kita merupakan bentuk mentalitas inlander tersebut. Tak heran jika kita sebetulnya baru merdeka secara politik, tapi tak merdeka secara ekonomi dan budaya—bahkan dalam beberapa segi tak lagi memiliki kedaulatan.

Kritiknya yang pedas juga meluncur untuk dunia pers. “Belakangan ini muncul sebutan baru ‘pers kepiting’. Tiap orang tahu apa itu kepiting, binatang yang gemar melihat keadaan sekeliling sebelum tampil ke permukaan, dan begitu ada saja sedikit bahaya, ia segera menyuruk ke balik batu. Belum lagi sebutan ‘pers kepiting itu cukup tersebar luas, sudah datang lagi sebutan yang paling mutakhir, yaitu ‘pers tiarap’. (Kepiting, 2 Agustus 1987). Kompas pernah disebut menerapkan langgam jurnalisme kepiting, seperti yang dicatat Rosihan Anwar.

Dalam tulisannya, Mahbub menempatkan dirinya terlibat. Ia jelas-jelas menggunakan kata “saya” untuk dirinya selaku subjek. Dalam tulisannya yang berjudul KesatriaKompas, 14 Juni 1985, Mahbub menulis: “Selaku penulis saya ini generalis, bukan spesialis. Saya menulis ihwal apa saja yang lewat di depan mata. Persis tukang loak yang menjual apa saja yang bisa dipikul. Sebetulnya saya ini ingin meningkat menjadi penulis spesialis, seperti seorang kenalan yang khusus menulis bidang pajak. Begitu seringnya ia menulis ihwal pajak, bukan saja para pembacanya muak dan gelisah, tapi juga kenalan saya itu menjadi senewen.”

Perumpamaan, Deskripsi, dan Idiom

Mahbub juga sering memberikan penjelasan tentang sesuatu dengan perumpamaan yang tak terkirakan tapi kira-kira kena. “Dan Titiek [Puspa] seakan tak berubah dari tahun ke tahun. Ia seperti terbuat dari kuningan. Begitu waktu Titiek menyanyi lagu Bung Karno Siapa yang Punya di Istana Bogor tahun 60an, begitu pula waktu membawakan lagu ciptaannya Kepada Bapak Soeharyo, Titiek tetap indah, pas segala-galanya, tidak ada baut yang copot”. (Soal Pilihan, 10 Januari 1988). Kita bisa dibuat ngakak saat membacanya. Hal ini juga ia lakukan saat menjelaskan tentang jenggot. “Sebaliknya, pergilah ke Iran, Anda akan temuai semua pria berjenggot mulai dari Khomeini sampai tukang bakso”. Kenapa? Soalnya karena kesenangan dan selera. Pria Iran tanpa jenggot sama dengan ayam jago tanpa jengger, atau seperti ban mobil tanpa dop”. (Jenggot Jabar, 24 Januari 1988). Tentu di Iran tak ada penjual bakso. Juga bagaiman soal jenggot menjadi ban mobil tanpa dop. Tapi memang benar bahwa di Irang orang gemar berjenggot.

Gaya mengiritik Mahbub memang menusuk. Hal ini bisa dilihat saat ia sedang mendeskripsikan orang. Tentang Idham Chalid, ia menulis “perawakannya tipis, tak ubahnya dengan umumnya pedagang batu permata dari Banjar, kelincahan logika yang tinggi”. Idham memang dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Idham juga dikenal piawai berdiplomasi dengan logika yang menyenangkan seperti pedagang. Tentang Gus Dur ia gambarkan seperti ini: bertubuh gempal ibarat jambu kelutuk yang ranum, bisa tidur di mana saja, berkaca mata tebal, kebolehan humor yang mengejutkan seakan-akan ia jambret begitu saja dari laci. Di masa mudanya, Gus Dur memiliki wajah gembil menggemaskan. Kita pun bisa dibuat tertawa tiada henti jika mendengarkan Gus Dur berceramah. Koleksi humornya tak pernah habis.

Orang yang kena deskripsi Mahbub juga termasuk John Naro, LB Moerdani, dan Try Sutrinso. Naro adalah orang yang tiba-tiba muncul sebagai Ketua Umum PPP. Figur yang menjadi boneka pemerintah Orde Baru untuk mengacak-acak partai Islam. Ia dikenal flamboyan dan percaya diri. Ini deskripsi Mahbub tentang Naro: pria perlente, tidak segan-segan tarik suara di restoran dengan suaranya yang tenor, mencium tangan Mien Sugandhi di muka umum seperti pria Prancis. Sedangkan Moerdani yang bengis dan ditakuti sebagai Panglima ABRI (kini TNI) dan Menhankam ia gambarkan sebagai “sosok tubuh seram dan kebanyakan merengut, keras”. Adapun Try yang menggantikan Moerdani sebagai panglima ditulis “berair muka seorang ustad seperti baru keluar dari salon, sejuk dipandang mata”. Try seperti hendak dijadikan antitesa Moerdani untuk memimpin TNI di era Orde Baru yang bengis dan kejam. Wajah Try yang kasep, murah senyum, dan bersuara lembut cocok untuk membangun gambaran baru tentang wajah tentara.

Semua deskripsi tentang orang itu buat Mahbub bukan sekadar hendak menjelaskan, tapi juga hendak menyampaikan pesan di baliknya. Tetaplah itu sebagai sebuah kritik. Bukan Mahbub jika ia tak hendak mengritik.

M Said Budairy, sahabat dan mitra Mahbub di dunia pers maupun di NU, mencatat tiga fokus perhatian Mahbub: menentang feodalisme, mendorong Indonesia untuk kembali menjadi negeri bahari, dan perhatiannya terhadap wong cilik. Karakter kebetawian Mahbub sangat lekat. Ia ceplas-ceplos, egaliter, dan penuh humor. Kendati begitu, kata Budairy, “Mahbub merasa lebih lega menjadi Indonesia, terlalu sempit menyudut dengan Betawi”. Mahbub menulis, “Aku sudah tidak bisa bicara soal Betawi. Inilah bedanya aku dengan Ridwan Saidi.” Namun demikian, ia bisa galak jika ada orang bicara Betawi yang tak ia sukai. “Betawi adalah…Betawi,” katanya tegas. Ridwan adalah aktivis, pernah menjadi politisi, dan juga budayawan Betawi. Seperti halnya Mahbub dan orang Betawi umumnya; kocak dan tajam.

Perumpamaan pada buku-buku terjemahan Mahbub, akan lebih mudah jika kita membuat perbandingan. Pada buku 100 Tokoh, Mahbub membuat terjemahan seperti ini: “Raja di raja pencipta musik Ludwig van Beethoven keluar jadi jabang bayi tahun 1770 di kota Bonn, Jerman”. Pada bagian lain ia menerjemahkan: “Beethoven menetap di Wina, Mekkahnya musik waktu itu, selama sisa hidupnya”.

Mari kita bandingkan dengan terjemahan di buku yang diterbitkan Hikmah. Untuk yang pertama adalah “Ludwig van Beethoven, sang komposer musik terbesar, dilahirkan pada 1770 di kota Bonn, Jerman”. Sedangkan untuk yang kedua adalah: “Beethoven tinggal di Wina—yang saat itu merupakan ibukota musik dunia—sepanjang sisa hidupnya”.

Mari kita bandingkan lagi dari terjemahan di buku yang sama. Pada terjemahan Mahbub tertulis: “Memang, kondisinya sudah matang. Sebab, kalau kondisinya belum sampai begitu, pidato Urban hanya seperti jatuh ke kuping orang tuli”. Bandingkan dengan terjemahan buku terbitan Hikmah: “Memang pada saat itu keadaannya memungkinkan kalau tidak pidatonya mungkin hanya akan dianggap angin lalu”.

Jadi, tidak benar juga jika dikatakan bahwa Mahbub menerjemahkan tidak per kalimat tapi per paragraf, bahkan per halaman. Yang dia lakukan hanya memberikan kemudahan untuk pembaca dengan perumpamaan yang lebih dekat ke idiom pembacanya. Sekali lagi, ini hanya soal perumpamaan. Ini menunjukkan kreativitasnya. Namun ada benarnya jika karya terjemahannya bisa seperti karya Mahbub sendiri akibat kreativitasnya yang ‘kemajon’ ini. Hal ini bisa dilihat pada novel Animal Farm karya Orwell yang diterjemahkan menjadi Binatangisme. Bandingkan dengan terjemahan Prof Bakdi Soemanto yang tetap menggunakan judul Animal Farm. Untuk lebih menguatkan perbedaan itu, mari kita lihat satu contoh saja:

Versi Mahbub Djunaidi:

Tuan Jones pemilik peternakan “MANOR”. Malam itu ia baru saja mengunci kandang ayam. Karena kelewat mabuk, ia lupa menutup lubang kecil tempat ayam keluar-masuk. Menggenggam lampu minyak yang sinarnya berayun kian-kemari, ia terhuyung-huyung melintasi pekarangan, menendang pintu belakang rumahnya dengan sepatu bot, meneguk habis gelas bir penghabisan, kemudian membuang diri ke tempat tidur. Nyonya Jones—tentu saja istrinya—sudah lama mendengkur. Bibirnya mencong, setitik ingus melekat di lubang hidungnya.

Versi Bakdi Soemanto:

Pak Jones, pemilik Peternakan Manor, sudah mengunci kandang-kandang ayam untuk malam itu, tetapi karena mabuk berat, ia lupa menutup lubang-lubang masuk-keluar ayam. Dengan membawa penerangan temaram dari lentera yang bergoyang ke kiri dan ke kanan, ia menendang pintu belakang dengan sepatu botnya, kemudian menenggak segelas bir yang dituang dari barel di ruang pencuci alat-alat dapur, kemudian bergegas menyusul istrinya yang sudah mengorok di tempat tidur.

Ini naskah aslinya dalam Bahasa Inggris:Mr. Jones, of the Manor Farm, had locked the hen-houses for the night, but was too drunk to remember to shut the popholes. With the ring of light from his lantern dancing from side to side, he lurched across the yard, kicked off his boots at the back door, drew himself a last glass of beer from the barrel in the scullery, and made his way up to bed, where Mrs. Jones was already snoring.

Mahbub melakukan penyesuaian dengan idiom dan perumpamaan yang lebih dekat ke pembaca, walau kadang ia memberikan aksentuasi yang tak ada dalam teks aslinya.

Mahbub adalah seorang penulis, seorang pejuang. Sebagai penulis ia memiliki gaya dan memberi nyawa pada tulisannya. Kekuatan logika dan kekayaan budaya yang meletarinya, telah membuat tulisannya menjadi mudah dicerna dan sekaligus khas. Ia memang bisa dibandingkan dengan yang lain, namun Mahbub adalah… Mahbub.***

*Nasihin Masha adalah wartawan senior, pemerhati ikhwal kebangsaan. Tulisan ini diterbitkan pertama kali di laman Kumparan.com. Pemuatan artikel di laman ini atas seizin penulis.

Foto: Instagram @PMIIKECE

Sumber: